Jumat, 02 Januari 2009

DEMAM TIFOID


 


 

PENDAHULUAN


 

    Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang hingga kini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.3,4 Hal ini disebabkan oleh karena kesehatan lingkungan yang kurang memadai, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat. Saat ini perawatan konvensional penderita demam tifoid pada anak mengacu pada penderita dewasa. Perawatan seperti ini pada anak dirasakan terlalu lama, oleh karena itu perlu dicari terobosan baru untuk perawatan yang lebih singkat tapi efektif. Pada perawatan konvensional penderita istirahat mutlak sampai dengan 10 hari bebas demam, sedangkan pada perawatan singkat 5 hari bebas demam. 4

Walaupun pengobatan demam tifoid saat ini tidak terlalu menjadi masalah namun masalah diagnostik kadang-kadang menjadi masalah terutama ditempat dimana tidak dapat dilakukan pemeriksaan kuman maupun pemeriksaan laboratoriumnya.

DEFINISI


 

    Demam tifoid ( Typhoid Fever = Enteric fever = Tifus abdominalis ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan, dalam hal ini usus halus dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1,2,3

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella tifosa yang merupakan kuman gram negatif, berbentuk basil, motil, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. 1,2,3

Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700 C maupun oleh antiseptik. 2

Mempunyai 3 macam antigen yaitu :

  • Antigen O ( somatik )
  • Antigen H ( flagela )
  • Antigen Vi ( kapsul )


 

Dalam serum penderita terdapat zat anti ( aglutinin ) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

EPIDEMIOLOGI


 

Saat ini ditemukan terutama di negara sedang berkembang , termasuk di Indonesia, dengan kata lain merupakan penyakit endemis dan biasanya ditemukan pada anak yang berumur dia atas 1 tahun.1

Insiden demam tifoid di Indonesia ( th 1985 ) 2 sebagai berikut :

  • Umur 0 – 4 tahun = 25 – 32 %
  • Umur 5 – 9 tahun = 35 – 59 %
  • Umur 10 – 14 tahun = 39 – 69 %

Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. 2

Menurut hasil penelitian yang dilakukan terhadap penderita demam typoid yang dirawat di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo periode Januari 1999 – Oktober 2000 = dari 102 penderita demam tifoid berusia 1- 14 tahun didapatkan 49 laki-laki dan 53 perempuan.4

PATOGENESIS


 

Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Kuman Salmonella masuk bersama makanan / minuman. Setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus ( terutama Plaque Peyeri ) dan jaringan limfoid Mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat, kuman masuk kedalam peredaran darah melalui pembuluh limfe ( bakteremia primer ) menuju organ retikuloendotelial sistem ( RES ) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan yang tidak difagosit akan berkembang biak , sehingga organ-organ tersebut pada akhir masa inkubasi 5 -9 hari kuman masuk kembali ke darah menyebar ke seluruh tubuh ( bakteremia sekunder ) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Gejala demam diduga disebabkan oleh endotoksin yang dikeluarkan pada masa bakteremia sekunder ini yang merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoreguler di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam. 1,2,3

GEJALA KLINIS


 

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan penderita dewasa. 1,2 Masa inkubasi atau masa tunas rata-rata 10 -20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan dan terlama 30 hari jika melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala-gejala nyeri kepala, pusing , anoreksia, mual, muntah, diare, dan perasaan tidak enak badan. 1,2

Secara garis besar gejala klinis yang biasa ditemukan dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Demam

    Berlangsung 1 minggu atau lebih , bersifat febris remiten, suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore atau malam hari. Dalam minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun, normal kembali pada akhir minggu ketiga.

  1. Gangguan pada saluran saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap , bibir kering dan pecah-pecah ( ragaden ). Lidah ditutupi selaput putih kotor ( coated tongue ) , ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai nyeri pada perabaan.

  1. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun yaitu apatis, sampai somnolen.

RELAPS ( Kekambuhan )

Relaps ialah keadaan berulangnya gejala penyakit demam tifoid, akan tetapi berlangusng lebih ringan, dan lebih singkat. Biasanya terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal kembali


 

KOMPLIKASI

Komplikasi dapat dibagi atas 2 bagian: 1

  1. Komplikasi di usus halus :
  2. Perdarahan usus

    Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan Benzidin,     bila perdarahan banyak terjadi melena.

  1. Perforasi usus

    Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum.

  1. Peritonitis

    Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat juga terjadi tanpa perforasi usus.     Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen     tegang ( defence muscular ).

  1. Komplikasi di luar usus
  2. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis ( bakteremia ) yaitu Meningitis, Kolesistitis, Ensefalopati.
  3. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu bronkopneumonia.1,2

DIAGNOSIS KERJA


 

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dibuat diagnosis Observasi Demam Typoid. Untuk memastikan diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :

  1. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis :
    1. Pemeriksaan darah tepi 1,2

        Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada

        permulaan sakit, mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan


     

    1. Pemeriksaan sumsum tulang1

        Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana


     

2.     Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis. 1

     a. Biakan empedu, untuk menemukan kuman Salmonella typhosa , dimana kuman ditemukan di darah penderita, biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses.

     b.    Pemeriksaan Widal 1,2    

        Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella tifosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titier yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang progresif, digunakan untuk membutat diagnosis.

Titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut :

  • Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli patogen dalam usus.
  • Pada neonatus zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
  • Terdapat infeksi silang dengan Rickettsia ( Weil Felix )
  • Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.

DIAGNOSIS BANDING

Bila terdapat demam yang lebih dari 1 minggu, sedangkan penyakit yang dapat menerangkan demam tersebut belum jelas, perlu dipertimbangkan penyakit-penyakit lain seperti : Paratifoid A, B, C, Influenza, Malaria, Tuberkulosis, Dengue, Bronkopneumonia

Pengobatan


 

Penderita yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai penderita tifus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai berikut :


 

  1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekstreta.1
  2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi.1
  3. Istirahat mutlak selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali.1
  4. Diet yang mengandung cukup cairan, kalori, tinggi protein, rendah serat, tidak merangsang, dan tidak menimbulkan banyak gas.
  5. Obat-obatan.

    Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba ( 10-15% ).2 Sebagai drug of choice/ obat pilihan kloramfenikol tetap digunakan, walaupun pernah dilaporkan adanya resistensi terhadap kloramfenikol diberbagai daerah. Dosis pemberian kloramfenikol 50 – 75 mg/ kgBB/hari, sebaiknya pemberian dengan dosis tinggi 100mg/ kgBB/hari atau diberikan 4 x sehari peroral, intramuskular atau intravena .1,2,3 Obat-obatan lain yang dapat diberikan pada penderita demam tifoid adalah : ( lihat tabel )1,2,3


     

Tabel 1. Guidelines for use of Common Parenteral and Oral Antibacterial agents

in children > 1 months of age.3


 

Agents 

Dose ( mg/kgBB/day) 

Interval (hours) 

Parenteral 

Oral 

Ampicillin 

100-400 

4-6 

Cefotaxime 

100-200 

6-8 

Ceftizoxime 

150-200 

6-8 

Ceftriaxone

50-100 

12-24 

Cefixime 

12-24 

Cefpodoxime 

10 

12 

Trimethoprim-Sulfamethoxazole 

8-12 ( TMP ) 

12 


 

Prognosis


 

Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6 %. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :

  1. Panas tinggi ( hiperpireksia ) atau febris kontinua
  2. Kesadaran menurun sekali sopor , koma, atau, delirium
  3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia dan lain-lain.
  4. Keadaan gizi penderita buruk ( malnutrisi energi protein )

DEMAM BERDARAH DENGUE


 

A. Definisi

    Demam Berdarah Dengue ( DBD ) adalah suatu penyakit infeksi pada anak dan dewasa yang disebabkan virus Dengue Famili Flaviviridae, genus Flavivirus, dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, uji tourniquet positif dengan atau tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan. (5,6,7)

    Penyakit ini termasuk self limiting disease. (1) Kasus khas DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor : demam tinggi, fenomena hemoragis dan sering hepatomegali serta kegagalan sirkulasi. ( 8 )


 

B. Epidemiologi

    DBD pertama kali ditemukan di Filipina tahun 1953. (5,9,10,11,3) kemudian menyebar keseluruh Negara tropis dan subtropics. Kini sekitar 2,5 milyar (2/5 penduduk dunia) punya resiko terserang virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropik pernah mengalami letusan demam dengue dan DBD. (3) Setiap tahun diperkirakan terdapat 20juta kasus infeksi dengue. (10)

    Di Indonesia kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. (5,11,3,6) Tahun-tahun berikutnya kasus DBD berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian juga wilayah yang tejangkit semakin luas. Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan semakin menyebar luasnya penyakit DBD itu antara lain adalah karena semakin meningkatnya arus transportasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain. (3)

    Studi epidemiologi didaerah tropis dan subtropis :

  • Penyakit dengue merupakan penyakit endemic di Indonesia, tapi dalam jarak 2-5 tahun dapat terjadi epidemic. (5,10)
  • Data yang terkumpul dari tahun 1968-1997 kebanyakan DBD menyerang usia <15tahun, kini baik dewasa maupun anak-anak kasusnya seimbang. (8,3)
  • Kasus DBD cenderung meningkat pada musim hujan. (5,10,3) Suhu dan turunnya hujan dapat mempengaruhi daya tahan hidup, laju penularan, pola makan dan reproduksi nyamuk. (8)

    Namun epidemiologi DBD dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi geografis dan serotype virusnya. (8,11,3,6)


 

C. Etiologi

    Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue :

  • Virus RNA rantai tunggal, ukuran 50nm (5,9,8,11,3,6)
  • Famili Flaviviridae, genus Flavivirus. (5,9,2,8,11,3,6,7)
  • Termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus ( Arbo virus ). (12)
  • Terdiri dari 4 serotipe Den1, den2, den3, den4. (5,9,2,8,11,3,6,7)
  • Den1 dan Den2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya PD-II.
  • Den3 dan Den4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. infeksi salah satu serotype menimbulkan antibody terhadap serotype yang bersangkutan dan kurang terhadap serotype lainnya. Semua serotype tersebar diberbagai daerah Indonesia. (2,8,11,6) Serotipe Den3 paling dominant dan diasumsikan menimbulkan manifestasi klinik yang berat. (12)
  • Vector utama adalah nyamuk Aedes Aegypti dari sub genus Stegornya.Ae.aegypti merupakan factor epidemic yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae.Albopictus, Ae.Polynesiensis, anggota dari Ae.Scutellaris complek dan Ae.(finlaya) niveus juga dianggap sebagai vector sekunder. (6) Vektor sekunder kurang efisien karena hidup dan berkembang biak di kebun atau semak sehingga relative jauh kontak dengan manusia.
  • Virus den termasuk dalam kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan factor kimiawi lain sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi virus sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan pengambilan. (4)


 

D. Vektor Utama (Ae.aegypti)

    Dinamakan Ae.agypti sebab pertama kali ditemukan di Mesir tahun 1905, kemudian menyebar di seluruh dunia melalui kapal laut dan udara. (11,3) Hidup optimal pada iklim tropis dan subtropics biasa pada garis lintang 35U dan 35S. (5,2,8,3) Habitatnya adalah tmepat-tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah suka istirahat pada benda-benda yang bergantung di rumah. (3) Tersebar luas diseluruh pelosok tanah air baik kota maupun desa tidak dapat hidup pada ketinggian > 1000m diatas permukaan laut. (8,3) bersifat sangat antrofilik dan hidup dekat dengan manusia. (8)

    Kemampuan jarak terbang 40-100m dari tempat berkembangbiaknya. (3) Dari telur sampai dewasa perlu waktu 10-12 hari. (8,3) dimana umur nyamuk betina rata-rata 6 minggu dan hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta hanya darah manusia yang dipilihnya untuk mematangkan telur. (3)


 

E. Cara Penularan

    Virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk Ae.aegypti pada saat menghisap darah manusia yang sedang terinfeksi virus dengue dalam keadaan viremia (2 hari sebelum panas sampai dengan 5 hari setelah demam). (5,9,2,11,3,6)

    Organ sasaran dari virus adalah hepar, nodus limfatikus, sum-sum tulang serta paru. Data dari berbagai penelitian mrnunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi lain. Dalam peredaran darah virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. (4)

    Bila terinfeksi, nyamuk tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya dan siap menularkan virus ke manusia yang rentan. (5,9,2,11,3,6) Nyamuk betina yang terinfeksi dapat menularkan virus secara transovarian. (8,11,3) Dalam 8-10 hari virus dengue berlipat ganda dalam epitel usus tengah nyamuk lalu migrasi ke kelenjar ludah nyamuk ( proboscis ) ( extrinsic incubation period ) dan siap ditularkan ke manusia bila nyamuk betina tersebut menggigitnya. (11)


 


 

PATOGENESIS


 

    Virus merupakan organisme yang hanya dapat hidup dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu, terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan penjamu.

    Teori yang banyak dianut pada DBD adalah teori hipotesis infeksi sekunder (secondary heterogenous infection theory) dan teori hipotesis immune enhancement. (2,8) Kedua teori tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa manusia yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog punya resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibody heterolog yang sudah ada sebelumnya akan mengenali virus lain yang menginfeksi, membentuk kompleks antigen-antibodi. Kompleks tersebut berikatan dengan Fc reseptor membrane sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibody heterolog maka virus tidak dinetralisir oleh tubuh, maka bebas bereplikasi dalam sel makrofag. (2)

    Teori lain yaitu Antibody Dependent Enhacement ( ADE ) menyatakan bahwa suatu proses akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue dalam mononuclear sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut. Terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga mengakibatkan keadaan-keadaan seperti hipovolemia, dan syok. (2)

    Berdasarkan teori secondary heterolog infection bahwa akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibody amnestik yang terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit yang menghasilkan titer tinggi antibody Ig G anti dengue, terbentuk kompleks virus antigen-antibodi. Kompleks tersebut mengaktifkan system komplemen, terutama C3 dan C5, selanjutnya akibat aktivasi C3 dan C5 dilepaskan C3a dan C5a yang menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat dan merembesnya plasma dari intravascular ke ekstravascular yang ditandai dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium, dan terdapat cairan dalam rongga serosa (efusi pleura dan ascites). (2,1,11,3)

    Selain mengaktivasi system komplemen, kompleks virus-antigen-antibodi, juga mengakibatkan agregasi trombosit dan mengaktivasi system koagulasi melalui kerusakkan sel-endotel pembuluh darah. Kedua factor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat perlengketan kompleks antigen-antibodi pada membrane trombosit sehingga dikeluarkan ADP ( adenosine diphosphate ) akibatnya trombosit melekat satu sama lain.

    Agregasi trombosit menyebabkan :

  • Penghancuran oleh RES sehingga mengakibatkan trombositopenia
  • Pengeluaran platelet factor III sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID) yang ditandai oleh peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi penurunan factor pembekuan.
  • Gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun jumlahnya cukup namun tidak berfungsi baik
  • Aktivasi koagulasi menyebabkan diaktifkannya factor Hageman selanjutnya terjadi aktivasi sistim kinin yang memacu peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga mempercepat terjadinya syok.

Keempat hal inilah yang menyebabkan perdarahan massif pada DBD. (2)

    
 


 


 

MANIFESTASI KLINIK


 

    Manifestasi klinik virus dengue sangat bervariasi tergantung daya tahan tubuh dan virulensi itu sendiri. (5,9,2,8,11,3) Mulai dari tanpa gejala demam ringan tidak spesifik (undifferentiated fever), demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue ( SSD ). (4,2,8,11,3,6)


 

A. Demam Dengue

    Pada demam dengue ( DD ) dapat dijumpai keadaan – keadaan berikut : (5,12,10,3)

  • Demam tinggi tiba-tiba (>390C), menetap 2-7 hari, kadang bersifat bifasik
  • Muka kemerahan (flushing face)
  • Nyeri seluruh tubuh : Nyeri kepala, nyeri belakang mata terutama bila digerakkan, nyeri otot, nyeri tulang, nyeri sendi dan nyeri perut
  • Mual, muntah, tidak nafsu makan
  • Timbul ruam merah halus sampai petekiae
  • Laboratorium terdapat leukopeni hingga trombositopenia

    Namun Demam Dengue dengan perdarahan harus dibedakan dengan DBD. Pada penderita demam dengue tidak ada tanda-tanda kebocoran plasma.


 

B. Demam Berdarah Dengue ( DBD )

    Perbedaan DD dan DBD terletak pada patofisiologi penyakit tersebut, dimana pada DBD terdapat kelainan homeostasis dan perembesan plasma yang dibuktikan dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. (5,2,10,11,3)

    Kriteria diagnosa DBD menurut WHO 1997 : (5,2,8,11,3,6)

a. Klinis

  • Demam tinggi tiba-tiba selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
  • Terdapat manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet +, petekiae, echimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
  • Pembesaran hati / hepatomegali

b. Laboratoris

  • Trombositopenia ( trombosit <100.000ul)
  • Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit >20%

Diagnosa ditegakkan dengan dua kriteria klinis dan satu kriteria laboratorium. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia memperkuat diagnosis


 

Menurut WHO 1997, DBD dibagi menjadi 4 derajat :

  1. Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif
  2. Seperti derajat I namun disertai perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan lain.
  3. Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan dalam, tekanan nadi menurun <20mmHg, hipotensi, sianosis sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah
  4. Syok berat, nadi tidak dapat diraba, tekanan darah tidak dapat diukur.


 

C. Sindrom Syok Dengue

    Biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun biasanya antara hari ke-3 sampai ke-7. (7,11,3) Gelisah yang timbul sesuai dengan keadaan syok :

  • pasien tampak gelisah
  • akral dingin dan pucat, kulit lembab
  • hipotensi, penurunan tekanan nadi (<20mmHg), nadi cepat dan lemah


 


 


 


 

LABORATORIUM DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 

A. Laboratorium (5,2,8,11,3,6)

  • Trombositopenia ( Trombosit <100.000ul )
  • Hematokrit meningkat >20%
  • Hipoproteinemia, penurunan kadar fibrinogen, protrombin, factor VIII, factor XII dan anti trombin III
  • Asidosis metanolik dan kadar BUN ( Basal Urea Nitrogen ) meningkat pada syok berat
  • SGOT dan SGPT meningkat ringan
  • Serum komplemen serum menurun

B. Pemeriksaan Penunjang

1. Radiologis (5,2,11,3)

  1. Roentgen thorax PA terdapat gambaran efusi pleura terutama pada hemitorak kanan
  2. USG abdomen tampak ascites dan efusi pleura bagian kanan


 

2.Serologis (2,3)

    Dikenal 6 jenis serologi yang dapat menentukan adanya virus dengue, yaitu :

  1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test), paling sering dipakai dan merupakan gold standard serologi untuk dengue. Uji Hi sensitive tapi tidak spesifik. Untuk diagnosis positif terdapat kenaikan titer 4x lipat dari titer serum akut (>1280). Baik pada serum akut maupun konvalesen.
  2. Ig M Elisa, kelebihan uji ini adalah hanya perlu satu serum akut saja. Spesifitas sama uji HI, sensifitas sedikit dibawah uji HI.
  3. Ig G Elisa, sedikit lebih spesifik disbanding Ig M Elisa.
  4. Uji netralisasi, paling spesifik dan sensitive untuk virus dengue.
  5. Uji komplemen fiksasi.
  6. PCR (polymerase chain reaction), sangat spesifik dan sensitive.


 


 

DIAGNOSA BANDING


 

    Etiologi demam pada wabah penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu diteliti infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disbabkan bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. (5)

    Awal perjalanan penyakit demam chikunguya, demam typhoid, campak, influenza, hepatitis, leptospirosis dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas dengan hemokonsentrasi dapat membedakannya. (2,8)

    DBD derajat II sulit dibedakan dengan idiopatik trombositopenia purpura (ITP). Demam pada ITP cepat hilang dan tidak terjadi hemokonsentrasi. Pada masa penyembuhan jumlah trombosit lebih cepat kembali normal. (9,8,3)


 


 


 


 

KOMPLIKASI PENYAKIT


 

A. Ensefalopati Dengue

    Terjadi akibat komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, gangguan metabolic seperti hipoksemia, hiponatremia, trombosis pembuluh darah otak akibat KID ( koagulopati Intravascular Diseminata). Pada enselopati dengue, kesadaran pasien menurun, dapat disertai kejang, peningkatan SGOT/SGPT, PT dan PTT memanjang, alkalosis, hiponatremia, hipoglikemia. (2,8,3)


 

B. Gagal Ginjal Akut

    Terjadi pada fase terminal akibat syok yang adekuat. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik, dan acut tubular necrotizing. Diuresis merupakan parameter yang penting dan paling mudah dilakukan dalam memonitor kelainan ginjal. (2,8,3)


 

C. Oedema Paru

Terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pasien mengalami distress pernafasan disertai sembab pada kelopak mata. Roentgen thorax PA memberikan gambaran bat wing appearance yang sesuai dengan gambaran ordem paru.(5)


 

C. Sepsis(8)

Akibat penggunaan jalur intravena yang terkontaminasi.


 

  1. Syok hingga kematian

    Terjadi akibat penanganan yang tidak adekuat


 


 


 


 

PENATALAKSANAAN


 

Penatalaksanaan pada DBD tanpa penyulit adalah (5)

  1. Tirah baring
  2. Makanan lunak

    Bila nelum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5 – 2 liter dalam 24 jam.

  3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres es di kepala, ketiak, dan inguinal. Antipiretik sebaiknya diberikan dari golongan asetaminofen, eukinin atau difron.
  4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder

    Penatalaksanaan menurut FKUI/RSCM terdiri dari 5 protokol (2,8)


 

Protokol I: tersangka DBD

    Pasien pulang bila HB, Ht normal, trombosit >100.000/ul dalam 24 jam. Dengan catatan kontrol kembali bila keadaan semakin manburuk. Bila masih meragukan, observasi dan berikan infuse kristaloid 500cc per 4 jam, ulang Hb, Ht, trombosit.

    Pasien dirawat bila HB, Ht normal tapi trombosit <100.00/ul atau Hb, Ht tetap/ meningkat dengan trombosit normal atau menurun. Monitor tanda-tanda vital serta jumlah urin tiap 4 jam.


 

Protocol II DBD : tanpa perdarahan masif dan syok.

    Berikan infuse larutan kristaloid 4jam/kolf. Bila Hb, Ht normal dan trombosit > 100.000-150.000 maka cukup monitor lagi tiap 24jam. Tapi bila HB, Ht meningkat periksa ulang tiap 12jam. Setelah 24jam bila Hb, Ht, trombosit :

  • stabil, pasien boleh pulang
  • normal/ meningkat trombosit >100.000, ulang periksa tiap 12jam selama 24 jam. Bila normal dan stabil boleh pulang.
  • Klinis memburuk, menunjukkan tanda syok terapi disesuaikan seperti pada syok.

Pasien pulang bila tidak demam, hemodinamik baik. Control poliklinik 24jam kemudian sambil periksa darah perifer lengkap. Bila keadaan memburuk harus segera dirawat.


 

Protocol III : DBD dengan perdarahan spontan dan massif tanpa syok.

    Segera infuse larutan kristaloid 4jam/kolf. Periksa tanda-tanda vital, darah perifer lengkap dan homeostatis tiap 4-6jam. Bila ada tanda-tanda KID berikan heparin. Transfuse komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen plasma ( FFP ) diberikan bila terdapat defisiensi factor pembekuan ( PT dan PTT memanjang ). Packed Reds Cells ( PRC ) diberikan bila nilai H kurang dari 10g%, transfuse trombosit diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit <100.000 disertai atau tanpa KID.

    Pada kasus dengan KID pemeriksaan homeostatis diulang 24jam kemudian sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejala-gejala tersebut bila dijumpai di puskesmas perlu dirujuk dengan infuse, idealnya dengan plasma expander ( dekstran ) 1-1,5ltr/24jam. Bila tidak tersedia dapat diberikan kristaloid. Juga diberikan terapi simptomatik sesuai indikasi.


 

Protocol IV : DBD dengan syok dan perdarahan spontan

    Fase awal segera berikan infuse larutan kristaloid terutama RL 20ml/kgBB/jam. Berikan O2 2-4 ltr/menit, periksa elektrolit dan ureum, kreatinin. Evaluasi selama 30-120 menit. Syok dikatkan teratasi bila keadaan umum membaik, keadaan system saraf pusat baik, sistol diatas 100mmHg dengan tekanan nadi >20mmHg. Nadi, 100x/mnt dengan volume yang cukup. Akral hangat, tidak pucat serta diuresis 0,5-1ml/KgBB/jam. Bila syok telah teratasi infuse dikurangi menjadi 10ml/kgBB/jam lanjut evaluasi 60-120 menit berikut. Bila klinis menjadi stabil kurangi lagi menjadi 4 jam/kolf. Selama ini periksa ulang Hb, Ht, trombosit serta elektrolit tiap 4-6jam.

    Bila hemodinamik masih belum stabil dengan HT>30% anjurkan kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 3-4 : 1 namun bila Ht<30% berikan tranfusi darah merah. Bila syok dari awal tidak teratasi langsung berikan larutan koloid 10-20ml.kgBB/jam maksimal1500ml/jam. Bila Ht<30% segera trnfusi darah merah. Bila syok masih juga belum teratasi berikan obat-obatan vasopresor seperti dopamine, dobutamin atau epinephrine. Bila ternyata ada KID berikan heparin dan tranfusi komponen darah sesuai indikasi. Tanpa KID periksa homeostatis diulang bila masih ada perdarahan. Berikan juga obat-obatan sesuai gejala yang ada.


 

Protocol V : DBD dengan syok tanpa perdarahan

    Sam prinsipnya dengan protocol no.IV hanya pemeriksaan klinis dan laboratorium dilakukan seteliti mungkin untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan tersembunyi disertai KID, maka heparin dapat diberikan. Bila tidak didapatkan tanda-tanda perdarahan, walau hasil pemeriksaan homeostatis menunjukkan KID maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan kearah perdarahan.


 


 


 


 

PENCEGAHAN


 

1. Gerakan 3M

  • menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali, dan menaburkan bubuk abate kedalamnya
  • menutup rapat tempat penampungan air
  • mengubur barang bekas yang dapat menampung air hujan

2. Pemberantasan vector

  • Penyemprotan / Fogging
  • Menyingkirkan pakaian yang tergantung didalam rumah
  • Abatisasi selektif
  • Kerjabakti lingkungan dalam dan luar rumah
  • Penyuluhan masyarakat

3. Pemakaian repellent, menyemprot anti serangga di dalam rumah

4. lapor ke puskesmas setempat


 

Ada dua cara pemberantasan vector : (5)

  • Menggunakan insektisida

    Yang biasa dipakai adalah Malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos untuk membunuh jentik

  • Tanpa insektisida

    Contohnya adalah menguras bak mandi, menutup rapat tempat penampungan air dan mambersihkan halaman rumah.


     


     


     


     

    PROGNOSIS DAN KESIMPULAN


     

A. Prognosis

    Kematian oleh demam dengue hamper tidak ada, sebaliknya pada DBD mortalitasnya tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari anak-anak.

    Dari penelitian tahun 1993 dijumpai keadaan penyakit yang terbukti bersama-sama muncul dengan DBD yaitu demam typhoid, bronkopneumonia, anemia dan kehamilan.


 

B. Kesimpulan

    DBD sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan korban meninggal dunia yang tidak sedikit. Penyakit ini terakhir mewabah tahun 2004, penyakit ini disebabkan virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Agypti sebagai vector utama.

    Manifestasi klinis penyakit dapat bermacam-macam mulai dari demam tidak khas, demam dengue, DBD, DSS hingga berakhir kematian. Terapi ditujukan terutama pada pergantian volume plasma yang hilang. Selain itu juga dibarengi dengan terapi simptomatik sesuai indikasi. Upaya pencegahan penyakit harus semakin ditingkatkan guna mencegah atau mengurangi kasus, morbiditas serta mortalitas akibat DBD.


 

TEORI KASUS

ASMA BRONKIAL


 

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas dan gejalan pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat reversibel, namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan relatif non-reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit.


 

Klasifikasi Derajat Asma

DERAJAT ASMA

 

GEJALA 

GEJALA MALAM 

FUNGSI PARU 

INTERMITEN

Mingguan 

  • Gejala < 1x/minggu
  • Tanpa gejala di luar serangan
  • Serangan singkat
  • Fungsi paru asimtomatik dan normal di luar serangan. 

< 2 kali sebulan

VEP1 atau APE > 80%

PERSISTEN RINGAN

Mingguan

  • Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari
  • Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur.

> 2 kali seminggu  

VEP1 atau APE > 80% normal

PERSISTEN SEDANG

Harian 

  • Gejala harian
  • Menggunakan obat setiap hari
  • Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
  • Serangan 2x/minggu, bisa berhari – hari  

> sekali seminggu  

VEP1 atau APE > 60% tetapi < 80% normal

PERSISTEN BERAT

Kontinu  

  • Gejala terus menerus
  • Aktivitas fisik terbatas
  • Sering serangan 

Sering 

VEP1 atau APE < 80% normal


 


 

Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala – gejala asma antara lain :

  1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.
  2. Batuk produktif, sering pada malam hari.
  3. Nafas atau dada seperti tertekan.

    Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari.


 

Diagnosis

Diagnosis asma berdasarkan :

  1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor – faktor yang berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi, serta gejala klinis.
  2. Pemeriksaan fisik.
  3. Pemeriksaan laboratorium : darah (terutama eosinofil, IgE total, IgE spesifik), sputum (eosinofil, spiral Curshman, kristal Charcot-Leyden).
  4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menemukan adanya obstruksi jalan nafas.


 

Komplikasi

Pneumotoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutis, atelektasis, aspergilosis bronkopulmonar alergik, gagal nafas, bronkitis dan fraktur iga.


 

Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah :

  1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.
  2. Mencegah kekambuhan.
  3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankan.
  4. Menghindari efek samping obat asma.
  5. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.

Yang termasuk obat antiasma adalah :

  1. Bronkodilator
    1. Agonis 2

      Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan fenoterol memiliki lama kerja 4 – 6 jam, sedangkan agonis 2 long acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain – lain. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.

    2. Metilxantin

      Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatornya berkaitan dengan konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.

    3. Antikolinergik

      Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran nafas.

  2. Antiinflamasi

    Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis.

    1. Kortikosteroid.
    2. Natrium kromolin (sodium chromoglycate) merupakan antiinflamasi nonsteroid.


 

Terapi awal, yaitu :

  1. Oksigen 4 – 6 liter/menit.
  2. Agonis 2 (salbutamol 5 mg atau fenoterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nebulas dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agonis 2 dapat secar subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
  3. Aminofilin bolus iv 5 – 6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
  4. Kortikosteroid hidrokortison 100 – 200 mg iv jika tidak ada respons segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.


 

Respons terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut :

  1. Respons menetap selama 60 menit setelah pengobatan.
  2. Pemeriksaan fisik normal.
  3. Arus puncak respirasi (APE) >70%

    Jika respons tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit.

    

    Terapi asma kronik adalah sebagai berikut :

  1. Asma ringan    : agonis 2 inhalasi perlu atau agonis 2 oral sebelum exercise atau terpapar alergen.
  2. Asma sedang    : antiinflamasi setiap hari dan agonis 2 inhalasi bila perlu.
  3. Asma berat    : steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis 2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis 2 inhalasi sesuai kebutuhan.

Kamis, 01 Januari 2009

Info medis

Sering kali kita sulit mencari infomasi dalam membuat suatu karya tulis. Untuk itu web ini di buat untuk membantu rekan-rekan TS dalam mencari informasi tentang karya tulis yang di buatnya. Website ini masih dalam uji coba dan proses pengembangan. Semoga website ini dapat membantu rekan-rekan TS. Terima kasih..